“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti
berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah
pijakanmu kuat.”
-ibuk-
Masih belia usia Tinah saat
itu. Suatu pagi di Pasar batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang kenek angkot,
seorang playboy pasar, yang berambut
klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata.
Keduanya menikah, merekapun menjadi ibuk
dan Bapak.
Lima
anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh
perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor dikala hujan,
biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan
dihadapi ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin
indah.
Ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan,
berkisah tentang sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan
sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti
pepohonan yang menutupi kegersangan dan memberi napas bagi kehidupan.
***
Judul :
Ibuk,
Penulis :
Iwan Setyawan
Jumlah Hal :
293 halaman
ISBN :
978-979-22-8568-0
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Novel karya Iwan Setyawan yang sangat menginspirasi. Memberi
gambaran betapa seorang ibuk dan bapak berjuang keras demi mencukupi semua
kebutuhan anak-anaknya. Membuat siapapun yang membacanya menitikkan air mata.
Berawal dari seorang gadis desa yang lugu dan
pemalu, Tinah. Ia tinggal bersama sang nenek. Suatu ketika ia bertemu dengan
Hasyim, seorang kenek angkot yang telah merebut hatinya. Mereka memutuskan
menikah, meski tanpa Mbok Pah, sang nenek yang meninggal beberapa hari sebelum
pernikahan berlangsung.
Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan
yang spenuh hati
Hari, bulan, dan tahun telah berganti. 5 anak
telah memberikan keramaian di gubug mereka. Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira. Tinah
dan Hasyim tak pernah merencakan kehidupan mereka kedepannya. “yang penting
besok ada uang untuk makan”.
Hidup memang menantang. Hidup kadang melempar. Tapi hidup
terlalu megah untuk diakhiri oleh diri sendri bukankah keindahan hidup
seingkali ditemukan dalam pilu?
Tinah yang hanya berpendidikan SD, itupun tak
tamat, tak ingin anak-anaknya mengalami nasib yang sama. Sekuat tenaga ia
mencari biaya untuk sekolah ke5 anaknya. Meski harus mencari pinjaman dengan
menggadaikan barang miliknya dan menggunakan uang belanja seirit mungkin. Ia
bertekad semua anaknya harus lulus kuliah. Bapak pun rela bekerja hingga larut
malam. Meskipun harus bolak balik ke bengkel untuk membetulkan angkotnya yang
rusak. Uang pun terpaksa habis untuk membeli onderdil angkot.
Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai
penderitaan.
Dengan semangat yang ibuk berikan, Nani dan Bayek
berhasil kuliah di Universitas Brawijaya dan IPB. Isa si sulung memilih untuk
kursus komputer dan memberikan les privat di Batu. Bayek berhasil lulus dengan
IPK 3,52 dan ia mendapat tawaran kerja di New York. Dengan tekad yang kuat dan
dorongan dari sang ibuk, anak lelaki satu-satunya menerima tawaran tersebut.
Rasa cinta itu kadang semakin jernih ketika kita harus
terpisah. Rasa cinta itu bisa tumbuh subur di tempat yang asing dan jauh. Rasa
cinta itu tumbuh lewat jalan yang berliku, lewat kegelapan dan air mata. Rasa
cinta yang seperti itu sejatinya akan membuat kita kuat.
Hari demi hari
Bayek lalui di New York. Ia mencoba menepis ketakutannya. Penghargaan demi
penghargaan ia dapatkan atas hasil kerjanya. Kemampuan berbahasa inggrisnya
memang masih dibilang “cethek” tapi ia selalu memberikan hasil yang memuaskan.
Tak salah jika ia selalu mendapat promosi jabatan.
Kadang perpisahan bisa membuat mata kita menjadi segar lewat
air mata, hati menjai peka lewat gelombang besar yang menerpa, dan menumbuhkan
cinta yang lebih besar lewat orang” yang menyentuh hidup kita. Hidup smakin
luas
Kekagumannya akan
kota Manhattan di New York tak dapat menutupi kerinduannya akan Gang Buntu di
kota Batu yang telah membesarkannya. Keinginan untuk kembali ke Indonesia selalu
muncul. Tapi ia bertekad untuk kembali
setelah semua misinya beres. Membiayai kakak dan adiknya kuliah hingga
membangun rumah untuk semua saudaranya, termasuk rumah ibuk.
Bayek menepati
janjinya. Ia bertekad menetap di Indonesia setelah 10 tahun bekerja. Rumah yang
dulu ia tinggalkan tampak berbeda. Terlihat ramai oleh hadirnya
keponakan-keponakannya. Hidup yang dulunya begitu keras, kini tampak
menyenangkan. Tapi semua tak ia dapatkan dengan mudah. Cobaan demi cobaan
menghampirinya. Mulai dari perampokan hingga tertabraknya twin tower di New
York.
Gaya bahasa yang digunakan cukup menarik. Perpaduan antara
bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa menarik pembaca untuk masuk kedalam cerita.
Mungkin bagi yang bukan orang Jawa rada bingung ngartiinnya.. hhihi :D
Sampulnya adem, meskipun kurang menggambarkan isinya.
Novel ini menunjukkan betapa
besarnya kasih sayang ibuk. Betapa ibuk rela mengorbankan apa yang ia miliki
demi anak-anaknya. Betapa bapak bekerja keras siang malam demi mencukupi
kebutuhan keluarga. Meski tak punya, tapi masa depan anak harus cerah.
Perjuangan demi perjuangan yang ibuk dan bapak lakukan memberi semangat tersendiri
untuk kesuksessan sang anak.
Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati.
Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan
keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan mmbuat sbuah rumah
indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar