Sabtu, 19 September 2015

Book Review “Ibuk” by Iwan Setyawan


“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.”
-ibuk-

Masih belia usia Tinah saat itu. Suatu pagi di Pasar batu telah mengubah hidupnya. Sim, seorang kenek angkot, seorang playboy pasar, yang berambut klimis dan bersandal jepit, hadir dalam hidup Tinah lewat sebuah tatapan mata. Keduanya menikah, merekapun menjadi ibuk dan Bapak.

            Lima anak terlahir sebagai buah cinta. Hidup yang semakin meriah juga semakin penuh perjuangan. Angkot yang sering rusak, rumah mungil yang bocor dikala hujan, biaya pendidikan anak-anak yang besar, dan pernak-pernik permasalahan kehidupan dihadapi ibuk dengan tabah. Air matanya membuat garis-garis hidup semakin indah.

            Ibuk, novel karya penulis national best seller Iwan Setyawan, berkisah tentang sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan sederhana yang perkasa. Tentang sosok perempuan bening dan hijau seperti pepohonan yang menutupi kegersangan dan memberi napas bagi kehidupan.

***





Judul                   : Ibuk,
Penulis                : Iwan Setyawan
Jumlah Hal          : 293 halaman
ISBN                    : 978-979-22-8568-0
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama

Novel karya Iwan Setyawan yang sangat menginspirasi. Memberi gambaran betapa seorang ibuk dan bapak berjuang keras demi mencukupi semua kebutuhan anak-anaknya. Membuat siapapun yang membacanya menitikkan air mata.

Berawal dari seorang gadis desa yang lugu dan pemalu, Tinah. Ia tinggal bersama sang nenek. Suatu ketika ia bertemu dengan Hasyim, seorang kenek angkot yang telah merebut hatinya. Mereka memutuskan menikah, meski tanpa Mbok Pah, sang nenek yang meninggal beberapa hari sebelum pernikahan berlangsung.

Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang spenuh hati

Hari, bulan, dan tahun telah berganti. 5 anak telah memberikan keramaian di gubug mereka. Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira. Tinah dan Hasyim tak pernah merencakan kehidupan mereka kedepannya. “yang penting besok ada uang untuk makan”.

Hidup memang menantang. Hidup kadang melempar. Tapi hidup terlalu megah untuk diakhiri oleh diri sendri bukankah keindahan hidup seingkali ditemukan dalam pilu?

Tinah yang hanya berpendidikan SD, itupun tak tamat, tak ingin anak-anaknya mengalami nasib yang sama. Sekuat tenaga ia mencari biaya untuk sekolah ke5 anaknya. Meski harus mencari pinjaman dengan menggadaikan barang miliknya dan menggunakan uang belanja seirit mungkin. Ia bertekad semua anaknya harus lulus kuliah. Bapak pun rela bekerja hingga larut malam. Meskipun harus bolak balik ke bengkel untuk membetulkan angkotnya yang rusak. Uang pun terpaksa habis untuk membeli onderdil angkot.

Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai penderitaan.

Dengan semangat yang ibuk berikan, Nani dan Bayek berhasil kuliah di Universitas Brawijaya dan IPB. Isa si sulung memilih untuk kursus komputer dan memberikan les privat di Batu. Bayek berhasil lulus dengan IPK 3,52 dan ia mendapat tawaran kerja di New York. Dengan tekad yang kuat dan dorongan dari sang ibuk, anak lelaki satu-satunya menerima tawaran tersebut.

Rasa cinta itu kadang semakin jernih ketika kita harus terpisah. Rasa cinta itu bisa tumbuh subur di tempat yang asing dan jauh. Rasa cinta itu tumbuh lewat jalan yang berliku, lewat kegelapan dan air mata. Rasa cinta yang seperti itu sejatinya akan membuat kita kuat.

Hari demi hari Bayek lalui di New York. Ia mencoba menepis ketakutannya. Penghargaan demi penghargaan ia dapatkan atas hasil kerjanya. Kemampuan berbahasa inggrisnya memang masih dibilang “cethek” tapi ia selalu memberikan hasil yang memuaskan. Tak salah jika ia selalu mendapat promosi jabatan.
Kadang perpisahan bisa membuat mata kita menjadi segar lewat air mata, hati menjai peka lewat gelombang besar yang menerpa, dan menumbuhkan cinta yang lebih besar lewat orang” yang menyentuh hidup kita. Hidup smakin luas

Kekagumannya akan kota Manhattan di New York tak dapat menutupi kerinduannya akan Gang Buntu di kota Batu yang telah membesarkannya. Keinginan untuk kembali ke Indonesia selalu muncul. Tapi ia bertekad untuk  kembali setelah semua misinya beres. Membiayai kakak dan adiknya kuliah hingga membangun rumah untuk semua saudaranya, termasuk rumah ibuk.
Bayek menepati janjinya. Ia bertekad menetap di Indonesia setelah 10 tahun bekerja. Rumah yang dulu ia tinggalkan tampak berbeda. Terlihat ramai oleh hadirnya keponakan-keponakannya. Hidup yang dulunya begitu keras, kini tampak menyenangkan. Tapi semua tak ia dapatkan dengan mudah. Cobaan demi cobaan menghampirinya. Mulai dari perampokan hingga tertabraknya twin tower di New York. 
Gaya bahasa yang digunakan cukup menarik. Perpaduan antara bahasa Indonesia, Inggris, dan Jawa menarik pembaca untuk masuk kedalam cerita. Mungkin bagi yang bukan orang Jawa rada bingung ngartiinnya.. hhihi :D Sampulnya adem, meskipun kurang menggambarkan isinya.

Novel ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang ibuk. Betapa ibuk rela mengorbankan apa yang ia miliki demi anak-anaknya. Betapa bapak bekerja keras siang malam demi mencukupi kebutuhan keluarga. Meski tak punya, tapi masa depan anak harus cerah. Perjuangan demi perjuangan yang ibuk dan bapak lakukan memberi semangat tersendiri untuk kesuksessan sang anak.

Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan mmbuat sbuah rumah indah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar